Selasa, Juni 02, 2009

Hidup Cukup

Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir Pasar Kebayoran Lama, Jakarta
Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap pagi puluhan orang antre untuk makan di tempat atau
dibawa pulang. Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki-ada empal, telur, semur
daging, tempe goreng-ludes habis. Begitu setiap hari, 20 tahun lebih.
Pertengahan 1980-an, ekonomi Orde Baru tengah menanjak ke puncak ketinggiannya. Bang Uki,
dengan ritme stabil batang pohon cabai yang terus berproduksi, belanja pukul satu dini hari, masak
mulai pukul dua, berangkat pukul empat, dan seusai subuh telah menggelar barang dagangnya.
Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh, ia sudah nongkrong di teras rumah, lengkap
dengan kretek, gelas kopi, dan perkutut. "Tinggal nunggu lohor," tukasnya pendek.
Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya hingga lebih siang
sedikit ditolak Bang Uki. "Buat apa?" tukasnya. "Gua udah cukup. Anak udah lulus es te em. Berdua
bini gua udah naik haji. Apalagi?" Pernah sekali penulis jumpai ia sedang memasak di rumahnya.
Langit di luar masih gelap. Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangan- nya lincah mengiris bawang
merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. "Abah masih tidur," istrinya balas menegur.
Kini, 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensiun. Wajahnya penuh senyum. Hidupnya penuh, tak
ada kehilangan. Kami yang kehilangan, masakan sedap khas Betawi. Kami sedikit tak rela. Bang
Uki terlihat begitu ikhlasnya. Wajahnya terang saat ia dimandikan untuk kali terakhirnya. Dua jam
berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan hidupnya.
Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di Pasar Jumat, Pak Haji Edeng tukang soto
Pondok Pinang, pun begitu. Tukang pecel di Solo, gudeg di Yogya, nasi jamblang di Cirebon, atau
bubur kacang hijau di Bandung, juga demikian. Mereka yang bekerja dan berdagang untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Jika telah cukup, untuk apa bekerja lebih. Untuk apa hasil, harta atau
uang berlebih? "Banyak mudaratnya," kilah Pak Haji Edeng.
Mungkin. Apa yang kini jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi tradisional negeri ini ternyata
mengajarkan satu moralitas: hidup wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah Tuhan dan
kekayaan alam bukan untuk kita keruk seorang. Manusia adalah makhluk sosial. Siapa pun mesti
menenggang siapa pun.
Alternatif kapitalisme
Moralitas berdagang "Bang Uki" tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar
perekonomian material- kapitalistik. Di mana prinsip laissez faire atau free will dan free market
digunakan tak hanya untuk memberi izin bahkan mendesak setiap orang untuk "mendapatkan
sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin". Satu spirit yang nyaris jadi kebenaran
universal dan hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya.
Dan siapa pun mafhum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi modern itu bukan hanya
melahirkan orang-orang yang sangat kaya, bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli Ferrari
seharga Rp 5 miliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi juga sejumlah besar orang yang
hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan atau tidak hari ini.
Moralitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa filantrofisme, yang umumnya
hanya berupa "pengorbanan" material yang hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang
dimilikinya. George Soros, misalnya, dengan kekayaan 11 miliar dollar AS (hampir sepertiga APBN
Indonesia), mengeluarkan 400 juta dollar (hanya sekitar 4 persen atau setara dengan bunga
deposito) untuk berderma dan menerima simpati global di sekian puluh negara.
Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem Sioe Liong atau
Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar kapitalisme di atas adalah dasar "legal"
untuk meng- amini kekayaan itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh dari
cara-cara kasar, telengas, ilegal bahkan atau-langsung dan tak langsung-dari merebut jatah rezeki
orang lain.
Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih praktisnya adalah: Siapa
berani? Tak seorang pun. Hingga sensus mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta
orang- orang kaya dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang yang papa. Belahan
kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.
Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan mana pun yang tersedia. Ia ada dan memiliki
dunianya sendiri. Yang mungkin aneh, alienatif, marginal, tersingkir, luput, apa pun. Namun
sesungguhnya, ia adalah sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme. Ia
adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan (tepatnya
ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.
Ekonomi cukup
Prinsip "hidup yang cukup" Bang Uki adalah landasan bagi sebuah "ekonomi cukup", di mana
manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia
mengeksplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatas Tuhan-yang
mereka percaya-menganjurkan atau membatasinya.
Bagaimana "cukup" itu didefinisi atau dibatasi, tak ada-bahkan tak perlu-ukuran dan standar.
Seorang pengusaha dan profesional dapat mengukurnya sendiri dengan jujur: batas "cukup" bagi
dirinya. Jika bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun, satpam atau
lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua kendaraan kelas menengah, mengapa ia
harus meraih lebih? Mengapa ia harus melipatgandakannya?
Apalagi jika usaha tersebut harus melanggar prinsip hidup, nilai agama, tradisi dan hal-hal lain yang
semula ia junjung tinggi? Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghasilkan puluhan miliar
tabungan, sekian rumah mewah peristirahatan bahkan jet pribadi, dapat dipastikan hal itu hanya
akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia berupaya meraih, tetapi juga saat mempertahankannya.
Bila pengusaha tersebut berhasil men- "cukup"-kan dirinya, secara langsung ia telah mengikhlaskan
kekayaan lebih yang tidak diperolehnya (walau ia mampu) untuk menjadi rezeki orang lain. Ini
sudah sebuah tindak sosial. Dan tindak tersebut akan bernilai lebih jika "kemampuan lebihnya" itu ia
daya gunakan untuk membantu usaha atau sukses orang lain. Sambil menularkan prinsip "ekonomi
cukup", ia akan merasakan "sukses" atau kemenangan hidup yang bernuansa lain jika ia berhasil
membantu sukses lain orang dan tak memungut serupiah pun uang jasa.
Maka, secara langsung satu proses pemerataan demi kesejahteraan bersama pun telah
berlangsung. Palung atau sen- jang kekayaan pun menipis. Kesempatan meraih hidup yang baik
dapat dirasakan semua pihak. Pemerintah dapat bekerja lebih efektif tanpa gangguan-gangguan
luar biasa dari konflik-konflik yang muncul akibat ketidakadilan ekonomi.
Dan seorang pejabat, hingga presiden sekalipun, dapat pula mendefinisikan "cukup" baginya: jika
seluruh kebutuhan hidupku, hingga biaya listrik, gaji pembantu hingga pesiar telah ditanggung
negara, buat apalagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah sebuah revolusi. Dan revolusi
membutuhkan keberanian, kekuatan hati serta perjuangan tak henti.
Maka, "cukuplah cukup". Kita sederhanakan sebagai prinsip hidup/ekonomi yang "sederhana". Kian
sederhana, maka kian cukup kian sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya:
semakin tinggi senjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita sehari-hari, makin
sederhana, makin cukup dan sejahteralah kita.
Jika Anda mampu membeli Ferrari, mengapa tak mengonsumsi Mercedes seri E saja, atau Camry
lebih baik, atau Kijang pun juga bisa. Dan dana lebih, bisa Anda gunakan untuk tindak-tindak sosial,
untuk membuat harta Anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.
Beranikah Anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja.
--------
Dari tulisan sahabat yang sangat berkesan dihatiku......Radhar Panca Dahana Sastrawan

Tidak ada komentar: